Ada 2 komponen yang menjadi dasar kepesertaan Program Keluarga harapan (PKH) yang masuk ke dalam aspek Kesehteraan Sosial tahun 2016. Ketiga komponen tersebut adalah komponen Penyandang disabilitas, Komponen Lanjut Usia.
Penyandang DisabilitasSebagai bagian dari anak Indonesia, anak penyandang disabilitas terutama dari keluarga miskin perlu mendapat perhatian dan perlindungan dari pemerintah, masyarakat, dan keluarga. Hal ini sesuai dengan amanat Undang- Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, dan Undang-Undang Nomor 8 Tentang Penyandang Disabilitas.
Sebagian besar Penyandang Disabilitas di Indonesia hidup dalam kondisi rentan, terbelakang, dan/atau miskin dikarenakan masih adanya pembatasan, hambatan, kesulitan, dan pengurangan atau penghilangan hak
Sebagian besar Penyandang Disabilitas di Indonesia hidup dalam kondisi rentan, terbelakang, dan/atau miskin dikarenakan masih adanya pembatasan, hambatan, kesulitan, dan pengurangan atau penghilangan hak
Penyandang Disabilitas. Untuk mewujudkan kesamaan hak dan kesempatan bagi Penyandang Disabilitas menuju kehidupan yang sejahtera, mandiri, dan tanpa diskriminasi diperlukan bantuan sosial terhadap penyandang disabilitas.
Karenanya, upaya pelayanan kesehatan maupun pendidikan perlu dikembangkan untuk memberikan akses bagi anak dengan disabilitas demi kemandirian dan masa depan yang lebih baik. WHO memperkirakan jumlah anak dengan disabilitas mencapai sekitar 7-10% dari total populasi anak (Kemenkes,
2014). Di Indonesia, gambaran data anak dengan disabilitas sangat bervariasi dan belum merefleksikan fakta sebenarnya.
Berdasarkan Pendataan Program Perlindungan Sosial (PPLS) tahun 2011, terdapat 130.572 anak penyandang disabilitas dari keluarga miskin. Angka tersebut belum dapat mewakili total jumlah anak penyandang disabilitas secara komprehensif. Sebagai rujukan, menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2007, terdapat 8,3 juta anak dengan disabilitas di Indonesia, atau 10% dari total populasi anak di Indonesia (82.840.600 anak). Susenas berikut menunjukkan kecenderungan peningkatan selama tahun 2007-2011.
2014). Di Indonesia, gambaran data anak dengan disabilitas sangat bervariasi dan belum merefleksikan fakta sebenarnya.
Berdasarkan Pendataan Program Perlindungan Sosial (PPLS) tahun 2011, terdapat 130.572 anak penyandang disabilitas dari keluarga miskin. Angka tersebut belum dapat mewakili total jumlah anak penyandang disabilitas secara komprehensif. Sebagai rujukan, menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2007, terdapat 8,3 juta anak dengan disabilitas di Indonesia, atau 10% dari total populasi anak di Indonesia (82.840.600 anak). Susenas berikut menunjukkan kecenderungan peningkatan selama tahun 2007-2011.
Selanjutnya, UNESCO memperkirakan bahwa sepertiga dari 75 juta anak di seluruh dunia yang tidak bersekolah adalah penyandang disabilitas (Global Monitoring Report and Education For All, 2010). Kemungkinan seorang anak usia 6-11 tahun dengan disabilitas untuk bersekolah hanya setengah dari anak tanpa disabilitas (Global Monitoring Report and Education For All, 2008). Dalam konteks Indonesia, meskipun pemerintah sudah mengupayakan pendidikan yang inklusif, tingkat partisipasi sekolah dasar dari anak-anak penyandang disabilitas masih sekitar 60 persen lebih rendah dibanding dengan anak-anak tanpa disabilitas (Global Monitoring Report and Education For All, 2010).
Penyandang Disabilitas Berat
Penyandang Disabilitas Berat adalah mereka yang memiliki keterbatasan fisik, mental, intelektual atau sensorik dalam jangka waktu lama kedisabilitasannya sudah tidak dapat direhabilitasi, tidak dapat melakukan aktivitas kehidupannya sehari-hari dan/atau sepanjang hidupnya pada bantuan/pertolongan orang lain, tidak mampu menghidupi diri sendiri, serta tidak dapat berpartisipasi penuh dan efektif dalam masyarakat berdasarkan kesetaraan dengan lainnya (Sumber: Pedoman Pelaksanaan Pemberian Asistensi Sosial Bagi Penyandang Disabilitas Berat, 2015).
Penyandang Disabilitas Berat
Penyandang Disabilitas Berat adalah mereka yang memiliki keterbatasan fisik, mental, intelektual atau sensorik dalam jangka waktu lama kedisabilitasannya sudah tidak dapat direhabilitasi, tidak dapat melakukan aktivitas kehidupannya sehari-hari dan/atau sepanjang hidupnya pada bantuan/pertolongan orang lain, tidak mampu menghidupi diri sendiri, serta tidak dapat berpartisipasi penuh dan efektif dalam masyarakat berdasarkan kesetaraan dengan lainnya (Sumber: Pedoman Pelaksanaan Pemberian Asistensi Sosial Bagi Penyandang Disabilitas Berat, 2015).
Meski belum ada data jumlah penyandang disabilitas beratyang akurat dan dapat dijadikan rujukan nasional, namun jumlah mereka diperkirakan cukup tinggi. Direktorat Rehabilitasi Sosial Penyandang Disabilitas Kementerian Sosial RI telah memiliki data lengkap by name and by address (BNBA) sebanyak 110.000 penyandang disabilitas berat. Sampai dengan tahun 2016 Jaminan Sosial bagi mereka baru mencakup sekitar 29.500 jiwa (26,8%) (ASPBD, 2016) dari yang terdata.
Bantuan yang diberikan berupa dana tunai sejumlah Rp. 300.000 per bulan dan mendapatkan pendampingan. Penyandang disabilitas berat menjadi beban ekonomi, sosial dan psikologis yang sangat menekan bagi keluarga miskin terutama jika tidak mendapat dukungan dari pemerintah untuk perawatannya.
Pada implementasinya diperlukan sinergi lintas sektor dalam penanganan lanjut usia dan penyandang disabilitas miskin berdasarkan status tinggal. Bantuan PKH diberikan kepada penyandang disabilitas berat dalam keluarga. Baik keluarga tersebut memiliki memiliki komponen kesehatan dan atau pendidikan, maupun keluarga yang tidak memiliki komponen kesehatan dan atau pendidikan.
Sedangkan untuk penyandang disabilitas berat di luar keluarga PKH dilakukan intervensi program panti atau penanganan lainnya. Sinergi lintas sektor untuk bantuan penyandang disabilitas berat dapat dilihat pada gambar berikut.
Komponen Lanjut Usia
Berdasarkan Undang-Undang No. 13 Tahun 1998 tentang Kesejahteraan Lanjut Usia, lanjut usia merupakan seseorang yang telah berusia 60 tahun ke atas. Secara fisik, lanjut usia dapat dibedakan menjadi lanjut usia potensial maupun lanjut usia tidak potensial.
Lanjut usia rentan mengalami masalah fisik, mental, sosial, dan psikologis, sehingga dapat mengakibatkan gangguan dalam pemenuhan kebutuhan sehari- hari. Berdasarkan sensus penduduk 2010, jumlah lanjut usia 18,1 juta jiwa atau 7,6 persen penduduk. Tahun 2014 lalu, jumlah lansia mencapai 18,78 juta orang lebih. Sementara jumlah lanjut usia terlantar berjumlah 2.848.854 jiwa (berdasarkan data Pusdatin Kesos Tahun 2012).
Perbaikan perawatan dan penyediaan fasilitas kesehatan serta semakin baiknya gizi masyarakat selama tiga dekade terakhir berdampak pada meningkatnya usia harapan hidup penduduk Indonesia yang membawa konsekuensi meningkatnya jumlah lanjut usia dari tahun ke tahun. Semakin panjangnya usia harapan hidup dapat berimplikasi pada timbulnya permasalahan sosial yang berkaitan dengan kondisi fisik, psikologis, sosial, dan ekonomi sehingga permasalah jumlah lanjut usia terlantar akan cenderung meningkat.
Data proyeksi penduduk menunjukkan bahwa jumlah penduduk lanjut usia di Indonesia diprediksi semakin meningkat dalam masa mendatang.
Lanjut usia yang menjadi target bantuan PKH adalah lansia yang berusia 70 tahun ke atas. Lansia dalam keluarga PKH memiliki kebutuhan akan pemeliharaan kesehatan maupun kebutuhan harian yang dapat menambah komponen pengeluaran keluarga. Bantuan bersyarat yang diberikan kepada lansia dalam keluarga PKH ditujukan untuk meringankan beban ekonomi keluarga, sekaligus memenuhi kebutuhan pemeliharaan kesehatannya. Dengan demikian, perbaikan taraf hidup dalam kesehatan dan pendidikan untuk ibu dan anak keluarga PKH dapat terjamin dengan mengurangi beban perawatan lansia dalam keluarga.
Upaya perluasan kepesertaan PKH dengan penambahan komponen disabilitas berat dan lanjut usia 70 tahun ke atas akan berdampak signifikan pada penambahan kuantitas penerima PKH. Bantuan PKH untuk lanjut usia 70 tahun ke atas diberikan kepada lansia yang berada dalam keluarga. Baik keluarga tersebut memiliki memiliki komponen kesehatan dan atau pendidikan, maupun keluarga yang tidak memiliki komponen kesehatan dan atau pendidikan.
Sedangkan lanjut usia 70 tahun ke atas yang di luar keluarga (homeless) bantuannya diintervensi melalui program panti. Intervensi program untuk lanjut usia 70 tahun ke atas secara umum dapat dilihat pada gambar berikut.