Berdasarkan laporan Education for All Global Monitoring Report yang dirilis UNESCO 2011, tingginya angka putus sekolah menyebabkan peringkat indeks pembangunan rendah. Karenanya, Mendorong anak untuk tetap bersekolah pada usia remaja menjadi hal mendasar. Keikutsertaan mereka yang berada di luar sistem sekolah pun harus menjadi perhatian utama. Hal ini karena meningkatnya resiko anak putus sekolah rentan menjadi korban eksploitasi, termasuk perdagangan anak. Bahkan mereka rentan pula terhadap pelanggaran hukum dari penyalahgunaan obat terlarang sampai dengan kriminalitas. Pada usia ini mereka rawan terjangkit HIV/AIDS. Kondisi sosial dan budaya di Indonesia ikut andil meningkatkan resiko tersebut, terutama terhadap para remaja putri.
Sampai saat ini tingkat partisipasi anak dalam bersekolah, baik di satuan pendidikan formal maupun informal masih rendah. Berdasar data dari Badan Pusat Statistik tahun 2013 menunjukkan rata-rata nasional angka putus sekolah usia 7-12 tahun mencapai 0,67 persen atau 182/73 anak, usia 13-15 tahun sebanyak
2,21 persen, atau 209.976 anak, dan usia 16-18 tahun semakin tinggi hingga 3,14 persen atau 223.676 anak. Tahun ini, UNICEF melaporkan5sebanyak 2,5 juta anak Indonesia tidak dapat menikmati pendidikan lanjutan yakni sebanyak 600 ribu anak usia sekolah dasar (SD) dan 1,9 juta anak usia Sekolah Menengah Pertama (SMP).
Penyebab utama angka putus sekolah menurut data BPS diatas disebabkan ketiadaan biaya untuk melanjutkan sekolah dan tidak adanya minat anak untuk bersekolah. Data statistik tingkat provinsi dan kabupaten menunjukkan bahwa terdapat kelompok anak-anak tertentu yang terkena dampak paling rentan sebagian besar berasal dari keluarga miskin sehingga tidak mampu melanjutkan pendidikan ke jenjang selanjutnya. Anak-anak yang berasal dari keluarga kurang mampu, memiliki kemungkinan putus sekolah empat kali lebih besar daripada mereka yang berasal dari keluarga berkecukupan. Untuk data statistik geografis, tingkat putus sekolah anak SD di desa 3:1 dibandingkan dengan di daerah perkotaan. Hal tersebut terjadi antara lain dipicu oleh faktor kekurangan tenaga pengajar untuk daerah terpencil dan tergolong berpenghasilan rendah. Tingkat putus sekolah anak di desa dapat mencapai 3% jika dibandingkan dengan anak di perkotaan.
Tabel 1. Data Anak Putus Sekolah
Sampai saat ini tingkat partisipasi anak dalam bersekolah, baik di satuan pendidikan formal maupun informal masih rendah. Berdasar data dari Badan Pusat Statistik tahun 2013 menunjukkan rata-rata nasional angka putus sekolah usia 7-12 tahun mencapai 0,67 persen atau 182/73 anak, usia 13-15 tahun sebanyak
2,21 persen, atau 209.976 anak, dan usia 16-18 tahun semakin tinggi hingga 3,14 persen atau 223.676 anak. Tahun ini, UNICEF melaporkan5sebanyak 2,5 juta anak Indonesia tidak dapat menikmati pendidikan lanjutan yakni sebanyak 600 ribu anak usia sekolah dasar (SD) dan 1,9 juta anak usia Sekolah Menengah Pertama (SMP).
Penyebab utama angka putus sekolah menurut data BPS diatas disebabkan ketiadaan biaya untuk melanjutkan sekolah dan tidak adanya minat anak untuk bersekolah. Data statistik tingkat provinsi dan kabupaten menunjukkan bahwa terdapat kelompok anak-anak tertentu yang terkena dampak paling rentan sebagian besar berasal dari keluarga miskin sehingga tidak mampu melanjutkan pendidikan ke jenjang selanjutnya. Anak-anak yang berasal dari keluarga kurang mampu, memiliki kemungkinan putus sekolah empat kali lebih besar daripada mereka yang berasal dari keluarga berkecukupan. Untuk data statistik geografis, tingkat putus sekolah anak SD di desa 3:1 dibandingkan dengan di daerah perkotaan. Hal tersebut terjadi antara lain dipicu oleh faktor kekurangan tenaga pengajar untuk daerah terpencil dan tergolong berpenghasilan rendah. Tingkat putus sekolah anak di desa dapat mencapai 3% jika dibandingkan dengan anak di perkotaan.
Tabel 1. Data Anak Putus Sekolah
Anak putus sekolah sebagian besar kernudian menjadi pekerja anak untuk menopang ekonomi keluarganya. Berdasar data dari Survei Tenaga Kerja Nasional (Sakernas, 2004 - 2009) dan Hasil Survei Pekerja Anak yang dilaksanakan Badan Pusat Statistik (BPS) bekerjasama Organisasi Buruh Internasional (ILO) pada 2009 menunjukkan, jumlah penduduk berumur 5 - 12 tahun yang bekerja mencapai 674,3 ribu jiwa atau mencakup sekitar 16,64 persen dari jumlah total pekerja anak (penduduk usia 5 - 17 tahun) yang mencapai 4,05 juta orang. Pada 2014, misalnya, jumlah anak berumur 10 - 17 tahun yang secara ekonomi aktif bekerja mencakup 2,77 persen dari jumlah total penduduk 10 - 17 tahun.